Belajar dari Chairul Tanjung

“Tidak ada kesuksesan yang bisa dicapai seperti membalikkan telapak tangan. Tidak ada keberhasilan tanpa kerja keras, keuletan, kegigihan, dan kedisiplinan. Hal itu juga harus dibarengi dengan sikap pantang menyerah dan tidak cepat putus asa. Semua cita-cita dan ambisi hanya bisa direngkuh apabila kita mau terus belajar berbagai hal, di mana pun dan kepada siapa pun.” ― chairul tanjung


Dalam kunjungan ke Kota Bandung kali ini, saya ingin menginap di hotel Ibis yang berada dalam satu komplek dengan Trans Studio. Sengaja saya menginap disini untuk bisa merasakan suasana salah satu 'kerajaan' bisnis seorang tokoh muda Indonesia yang termasuk dalam jajaran orang terkaya di Indonesia.

Kisah tentang si Anak singkong Chairul Tanjung ini bisa dibaca di buku yang sudah banyak beredar dimana-mana.

Bermula dari awal kuliah di jurusan Kedokteran Gigi Universitas Indonesia. Biaya masuk kuliah kala tahun 1981 sebesar Rp 75 ribu, dengan uang kuliah per tahun Rp 45 ribu. Rupanya, untuk membayar uang kuliah tersebut, sang ibu sampai harus menggadaikan selembar kain halus.
"Saya betul-betul terenyuh dan shock, sejak saat itu saya bersumpah tidak mau meminta uang lagi ke orang tua," kata dia.

Maka, kelahiran Jakarta, 18 Juni 1962 ini pun lantas memulai bisnis kecil-kecilan. Dia bekerjasama dengan pemilik mesin fotokopi, dan meletakkannya di tempat strategis yaitu di bawah tangga kampus. Mulai dari berjualan buku kuliah stensilan, kaos, sepatu, dan aneka barang lain di kampus dan kepada teman-temannya. Dari modal usaha itu, ia berhasil membuka sebuah toko peralatan kedokteran dan laboratorium di daerah Senen Raya, Jakarta. Sayang, karena sifat sosialnya - yang sering memberi fasilitas kepada rekan kuliah, serta sering menraktir teman - usaha itu bangkrut.

Ternyata, ia justru bisa makin berkembang dengan berbagai usahanya. Ia pun lantas memfokuskan usahanya ke tiga bisnis inti, yakni: keuangan, properti, dan multimedia. Melalui tangan dinginnya, ia mengakuisisi sebuah bank kecil yang nyaris bangkrut, Bank Tugu. Keputusan yang dianggap kontoversial saat itu oleh orang dekatnya. Namun, pengalaman bangkit dari kegagalan rupanya mengajarkannya banyak hal. Ia justru berhasil mengangkat bank itu, - setelah mengubah namanya menjadi Bank Mega - menjadi bank papan atas dengan omset di atas Rp1 triliun saat ini.

Selain itu, suami dari dokter gigi Ratna Anitasari ini juga merambah bisnis sekuritas, asuransi jiwa dan asuransi kerugian. Kemudian, di bisnis properti, ia juga telah membuat sebuah proyek prestisius di Kota Bandung, yang dikenal dengan Bandung Supermall. Dan, salah satu usaha yang paling melambungkan namanya yaitu bisnis televisi, TransTV. Pada bisnis pertelevisian ini, ia juga dikenal berhasil mengakuisisi televisi yang nyaris bangkrut TV7, dan kini berhasil mengubahnya jadi Trans7 yang juga cukup sukses.

Diantara salah satu prinsip yang dipegang oleh CT adalah bagaimana menyelaraskan antara bisnis dan idealisme. Bisnis boleh mencari keuntungan yang sebesar-besarnya, namun uang bukan segalanya. Bisnis harus punya idealisme.

Mungkin hal itu juga yang bisa kita jadikan pegangan kita dalam bekerja. Bekerja bukan hanya sekedar menjalankan tugas dan mengejar target, namun juga harus disertai idealisme. Tidak menghalalkan segala cara. Yang lebih penting adalah bagaimana kita bekerja selaras dengan idealisme kita untuk mengejar cita-cita hakiki, bahagia di dunia dan bahagia di akhirat.

Selamat berkarya.
Lebih baru Lebih lama