Belajar dari Anak Kerang

Saya paling suka dengan cerita, baik membaca, mendengarkan atau menyampaikannya. Apalagi kalau sudah bercerita kepada anak-anakku seusai mereka belajar.

Dikisahkan, seekor anak kerang di dasar laut mengadu dan mengeluh pada ibunya sebab sebutir pasir tajam memasuki tubuhnya yang merah dan lembek.

Dengan sangat hati-hati dan sepenuh jiwa memberikan nasehatnya.
"Anakku," kata sang ibu sambil bercucuran air mata, "Tuhan tidak memberikan pada kita, bangsa kerang, sebuah tangan pun, sehingga Ibu tak bisa menolongmu."

Si ibu terdiam, sejenak, "Sakit sekali, aku tahu anakku. Tetapi terimalah itu sebagai takdir alam. Kuatkan hatimu. Jangan terlalu lincah lagi. Kerahkan semangatmu melawan rasa ngilu dan nyeri yang menggigit. Balutlah pasir itu dengan getah perutmu. Hanya itu yang bisa kau perbuat", kata ibunya dengan sendu dan lembut penuh kasih sayang.

Mendengar nasehat ibunya, sang anak kerang pun patuh dan mulai menjalankannya. Ada hasilnya, tetapi rasa sakit bukan alang kepalang. Kadang di tengah kesakitannya, ia meragukan nasihat ibunya. Dengan air mata ia bertahan, bertahun-tahun lamanya.


Tetapi keajaiban terjadi. Tanpa disadarinya sebutir mutiara mulai terbentuk dalam dagingnya. Makin lama makin halus. Rasa sakit pun makin berkurang. Dan semakin lama mutiaranya semakin besar. Rasa sakit menjadi terasa lebih wajar.

Akhirnya sesudah sekian tahun, sebutir mutiara besar, utuh mengkilap, dan berharga mahal pun terbentuk dengan sempurna. Penderitaannya berubah menjadi mutiara, air matanya berubah menjadi sangat berharga. Dirinya kini, sebagai hasil derita bertahun-tahun, lebih berharga daripada sejuta kerang lain yang cuma disantap orang sebagai kerang rebus di pinggir jalan.

Ini mungkin hanya sebuah cerita. Namun dari kisah ini kita dapatkan sebuah paradigma tentang masalah. Suatu kiasan yang menjelaskan bahwa penderitaan adalah lorong transendental untuk menjadikan "kerang biasa" menjadi "kerang luar biasa". Karena itu dapat dipertegas bahwa kekecewaan dan penderitaan dapat mengubah "orang biasa" menjadi "orang luar biasa".

Banyak orang yang mundur saat berada di lorong transendental tersebut, karena mereka tidak tahan dengan cobaan yang mereka alami. Ada dua pilihan sebenarnya yang bisa mereka masuki: menjadi `kerang biasa' yang disantap orang, atau menjadi `kerang yang menghasilkan mutiara'.

Sayangnya, lebih banyak orang yang mengambil pilihan pertama, sehingga tidak mengherankan bila jumlah orang yang sukses lebih sedikit dari orang yang `biasa-biasa saja'.

Mungkin saat ini kita sedang mengalami penolakan, kekecewaan, patah hati, atau terluka karena orang-orang di sekitar kamu cobalah utk tetap tersenyum dan tetap berjalan di lorong tersebut, dan sambil katakan di dalam hatimu... "Airmataku diperhitungkan Tuhan... dan penderitaanku ini akan mengubah diriku menjadi mutiara!..."


Pelangi datang setelah hujan, bunga mekar setelah mengalami musim gugur, setiap badai pasti akan berakhir. Yakinlah, bahwa setiap kesulitan selalu diiringi dengan kemudahan.
[]
Lebih baru Lebih lama