Mental Miskin dan Mental Kaya



Saya punya seorang kakek jauh (masih pamannya ayah), Mbah Nasrun dan istrinya Mbah Ngasini. Mereka berdua berjualan jagung. Ada jagung rebus dan jagung bakar.

Suatu hari Mbah Ngasini berjualan, didatangi ibu-ibu, ketika hendak membayar, malah dicegah.
"Ambil saja Bu, anggap saja hadiah dari saya." Si Ibu pun senang, besoknya dia bawakan setangkai pisang untuk mbah Ngasini.

Kemudian ada seorang laki-laki datang. Ketika hendak membayar, malah dicegahnya. "Ambil saja Pak, anggap saja itu hadiah dari kami." Lalu Bapak itu senang, esoknya si Bapak membawakan batu akik untuk mbah Nasrun.

Lalu, Mbah Ngasini didatangi 2 orang pelajar anak pejabat di desa itu. Dia berujar, "Ambil saja Dik, buat hadiah kamu."
Lantas apa yang terjadi? Anak muda itu mengajak teman-temannya para pelajar dan ada yg mahasiswa. Yah, apalagi kalo bukan mencari jagung gratisan..He..!

Kita sering merasa senang jika mendapat diskon, bahkan dari penjual sayur sekalipun. Padahal secara eknomi bisa jadi kita lebih tinggi dari mereka. Hal ini sering terjadi ketika kita belanja apapun yang sepele. Bahkan kita sering mendapat gratisan, bonus berupa tambahan barang meski jumlahnya sedikit.
Kadang, miskin itu bukan hanya soal materi. Tapi soal mental. Mbah Nasrun dan Mbah Ngasini, mungkin secara materi belum kaya, tapi dia memiliki mental kaya. Tapi para remaja desa, bisa jadi secara ekonomi sudah kaya, namun secara mental belum. Mereka masih miskin.

Yang lebih celaka adalah, jika sudah jatuh miskin pada materi, secara mental juga miskin!

So, anda mau pilih jalur mana?

Selamat beraktivitas hari ini. Mulai dengan pikiran, mental dan sikap kaya, okay? []
Lebih baru Lebih lama