Sekolah Tanpa Ijasah

Ada kisah menarik tentang Paijo. Berbekal ijazah SD ia jadi satpam sebuah perusahaan. Sayang ketika perusahaan berkembang, syarat jabatan satpam meningkat, minimum lulus SLTP. Paijo ikut ujian persamaan dan tidak lulus. Ia di PHK.

Setelah sempat terpukul, Paijo memilih dagang. Usahanya berkembang. Paijo jadi konglomerat mini. Wartawan pun mulai nyinyir menanyakan kiat suksesnya.

"Di mana Bapak menimba ilmu?"

"Tidak di mana-mana. Saya cuma tamat SD. Prinsip saya hanya berdagang, cari untung. Bukan cari ilmu. Bukan pula cari pengalaman."

"Tamat SD saja bisa sukses mempunyai banyak perusahaan. Bagaimana kalau tamat SMP?"

"Kalau tamat SMP, sekarang saya pensiunan satpam!"

Terlihat di sini sekolah --termasuk universitas-- bukanlah faktor penentu keberhasilan hidup satu-satunya.

Ajip Rosidi, sastrawan Sunda kelahiran Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, 31 Januari 1938, tidak tamat SMA. Namun kini ia menjadi dosen luar biasa di Fakultas Sastra Universitas Pajajaran, Bandung. Tahun 1981 ia bahkan diundang menjadi pengajar tamu di Osaka, Jepang, sampai saat ini. Sebel Asing Di Asia,diangkat menjadi guru besar luar biasa di Tenri Daigaku (1983-1994) dan Kyoto Sangyo Daigaku (1983-1996). Ajip memang seorang maestro tanpa gelar formal. Semua kehormatan yang diperolehnya dimulai dengan rasa cintanya yang besar pada dunia sastra, khususnya Sastra Sunda.

Rasa cintanya dipadu dengan keteguhan hati yang dimilikinya sejak muda. Ia, misalnya tidak bersedia mengikuti ujian SMA karena dipaksa menyogok guru. Ia berpendapat, hidup sukses tidak mesti pakai ijasah. Dan kehormatan lebih penting dari predikat.

John Major, drop out SMA, tapi menjabat Perdana Menteri Inggris menggantikan Wanita Besi, Margaret Thatcher. Billy Joel menjadi penyanyi terkenal dengan modal ijazah SMP, sama seperti Tracey Ullman yang menjadi aktris kondang.

Pernah mendengar Bank of America? Pendirinya, Amadeo Peter Giannini tak pernah menyelesaikan SMA-nya. Dale Carnegie, pelopor di bidang pelatihan dan pengembangan manusia di awal abad 20, tak menyelesaikan sekolah gurunya di Missouri, Amerika Serikat.

Thomas Alfa Edison kabarnya hanya 3 bulan sekolah seumur hidupnya, namun lebih dari 3.000 penemuan dicatat atas namanya atau atas nama orang-orang yang bekerja dengannya. Sementara Kenji Eno drop out dari SMA, namun disebut-sebut sebagai Bintang versi Asia Week dan dianggap sebagai dewa industri game.

Anthony Robbins hanya tamat SMA dan memulai kariernya sebagai jongos kantor (janitor). Namun dalam waktu satu dekade ia berhasil menjadi praktisi konsep Neuro-Linguistic Programming (NLP), bahkan merevisinya menjadi Neuro-Associative Conditioning (NAC). Dari pemuda miskin dan sakit-sakitan, Robins berhasil menjadi penulis buku laris Unlimited Power dan Awaken The Giant Within. Ia dipuji para profesor psikologi sebagai motivator yang handal dan menjadi salah seorang penasihat Presiden Bill Clinton. Honor bicaranya --US$ 75.000 sekali tampil (kurang lebih 3 jam)-- melampaui Dr. Stephen R. Covey, John Gray, dan Michael Hansen.

Susi Pudjiastuti drop out SMAN I Yogyakarta, tapi mampu menjadi eksportir ikan, udang, lobster, dan hewan laut lainnya ke Singapura, Hong Kong, dan Jepang, yang tak goyah diterpa badai krisis. Kusnadi hanya tamat SMA di Semarang, namun menjadi eksportir tenun ikat Bali yang memasok pakaian ke 1.650 butik terkemuka di Amerika dan Kanada. Hartono Setyo hanya sampai SMP, tapi mampu melanjutkan kepemimpinan Bambang Setijo, kakaknya, di beberapa perusahaan kelompok PT Sari Warna Asli Group --calon konglomerat baru di awal milenium ketiga.

Adam Malik, pernah menjadi Menteri Luar Negeri dan Wakil Presiden Indonesia cuma mengecap sekolah sampai kelas 5 SD. Andrie Wongso tidak tamat SD, arek Malang ini pernah melata sebagai kuli toko, guru kungfu, dan bintang film kungfu di Taiwan sebelum jadi juragan kata-kata mutiara (kartu-kartu merek Harvest) dan mendirikan perusahaan MLM Forever Young, serta menyunting seorang Sarjana Hukum.

Alim Markus, meninggalkan bangku SMP dan mampu mengembangkan Grup Maspion menjadi salah satu usaha yang terkemuka di Jawa Timur. Dalam kelompok bisnisnya tercatat lebih dari 40 pabrik yang menyerap sekitar 20.000 tenaga kerja.

Markus F. Parmadi, berhasil mencapai posisi tertinggi sebagai Presiden Direktur Bank Lippo. Padahal pendidikannya putus di tengah jalan, ia drop out tingkat dua dari Fakultas Teknik Universitas Indonesia.

Bob Sadino tak pernah kuliah di perguruan tinggi, tapi sering diundang untuk mengkuliahi mahasiswa di banyak kota, termasuk para calon dan sarjana-sarjana pertanian. Dan tanyakan pada Sukyatno Nugroho, sekolah mana yang membuatnya mampu mengembangkan Es Teller 77 Juara Indonesia dengan sistem franchise? atau apa gelar Willy Sidharta yang membuatnya bertahan memimpin PT Aqua Golden Mississippi? Lalu, Abrian Natan, Direktur Eksekutif CNI yang fasih berbicara di muka publik itu, mengapa tak merasa perlu menyelesaikan pendidikan tinggi?

Beberapa contoh tersebut dan masih banyak lagi yang lain, memperlihatkan fakta sejarah bahwa orang tidak harus berpendidikan tinggi untuk memperbaiki taraf hidup. Tanpa harus terjebak menghina para penganggur terdidik, saya hanya ingin mengatakan bahwa pendidikan tinggi bukanlah faktor penentu absolut untuk meraih keberhasilan.

Tak perlu putus asa bila putus sekolah. Tak perlu bermurung durja bila tak mampu menyekolahkan anak-anak ke tingkat yang lebih tinggi. Dunia tidak selebar daun kelor, kata orang bijak. Kalaupun Anda tak kenyang sekolahan, atau anak, adik, dan kerabat melulu putus sekolah, jalan menuju cita-cita masih membentang lebar.

Belajar ada kalanya jauh lebih efektif dari pengalaman, pribadi atau orang lain. "Sekolah" yang paling baik acap kali bukan di tempat-tempat tertutup, jauh dari kenyataan hidup sehari-hari, tetapi justru di lingkungan sekitar (pasar, stasiun, mesjid/gereja, kantor, jalan raya, dan seterusnya). Sekolah tanpa ijazah. Itulah sekolah kehidupan. []

Salam persahabatan!
@jumadisubur



Lebih baru Lebih lama