Menyikapi Komplain

Sehari kemarin, bertemu dengan pimpinan salah satu perusahaan klien saya. Beliau memberikan masukan yang sangat banyak. Hampir 2 jam pembicaraan sebagian besar adalah kritikan tentang layanan perusahaan kami.

Bagi saya ini adalah kesempatan yang bagus untuk mendapatkan masukan dari klien. Meski bahasanya lugas dan kadang terdengar menyakitkan, saya sangat enjoy mendengarnya. Dengan penuh empati, saya menyimak dengan seksama. Sesekali mencatat poin-poin penting yang harus saya tindaklanjuti.

Mendengar keluhan, atau complaint, bagi sebagian orang dinilai dalam persepsi negatif. Padahal seharusnya tidak demikian. Masukan, kritikan, complaint, seharusnya bernilai positif bagi kemajuan kita, juga bisnis kita.

Hanya terkadang yang membuat jadi negatif adalah karena komplain sering diikuti dengan kemarahan. Ini yang membuat komplain jadi menyakitkan.
Kuncinya adalah pisahkan antara kemarahan dengan komplain. Dengarkan dan terima kemarahan pelanggan atau klien kita. Berikan empati pada kondisi yang dialaminya itu. Dengarkan hingga kemarahannya reda, baru jelaskan duduk permasalahannya. Sering kita gagal mengatasi keluhan karena kita memberi penjelasan saat orang lain sedang marah. Penjelasan kita tidak akan diterima. Orang yang marah (emosinya meninggi) intelektualnya rendah. Sebaliknya ketika kemarahannya turun, intelektualnya akan naik. Karena itu redakan dulu kemarahan, baru beri penjelasan.

Disinilah dibutuhkan ketrampilan dalam mendengar. Sediakan telinga kita selebar-lebarnya untuk mendengar. Sesekali iyakan argumen atau mungkin rasa kesalnya.

Mendengar. Sekali lagi inilah sebuah ketrampilan yang harus dikuasai banyak orang. Apapun profesinya. Semakin banyak mendengar, semakin banyak informasi yang kita dapatkan.

Mungkin karena itu juga telinga kita ada 2 dan mulut kita hanya satu. Karena kita mesti lebih sering mendengar daripada berbicara.

Salam persahabatan!

www.tentangkarir.com
Lebih baru Lebih lama